Teruntuk kalian yang ingin berkata sesuatu kepada saya, tapi kalian terlalu takut untuk mengungkapkannya.
Kalian pasti marah, kesal, atau mungkin sudah mulai tidak respek terhadap saya karena saya terlalu “menguasai” sesuatu yang kalian juga pasti butuhkan.
Pertama, saya ingin meminta maaf kepada kalian semua karena saya sudah merebut hak kalian yang juga hak teman-teman lainnya. Saya tidak bisa menikmati kemewahan tersebut di rumah maka saya lampiaskan “kenorakan” saya di sekolah. Dan, pada saat ini saya memang tidak bisa mengontrol segala candunya. Saya mengakui.
Namun, sejujurnya saya merasa kecewa dengan kalian. Apa kalian takut saya akan mengamuk lalu menyalahkan apapun dan siapapun karena kata-kata kalian terlalu menyakiti perasaan saya? Apa kalian takut saya akan memusuhi kalian setelahnya? Apa kalian takut saya akan berkata, “Lah, suka-suka saya,” dan mengacuhkan kalian begitu saja?
Saya bukan tipikal orang yang seperti itu.
Walaupun saya bisa dibilang cukup sensitif dan terlalu dibawa perasaan, saya justru lebih senang apabila ditegur di depan. Bukan berarti kalian bebas membentak di hadapan umum, ya. Maksudnya, kalian tinggal katakan apa kesalahan saya secara langsung. Insya Allah saya bisa memperbaiki diri. Daripada kalian membicarakan di belakang, mana bisa saya tahu salah saya apa.
Mungkin saja kalian tetap menyalahkan saya dan merutuk dalam hati, “Ah, kamunya aja yang gak bisa peka sama situasi.” Silakan. Memang saya masih belajar membaca kondisi sekitar, tapi saya tidak sepenuhnya bodo amat.
Terakhir, terima kasih kalian sudah berkeluh kesah melalui sahabat saya. Berkat dia, saya sudah tahu di mana letak kesalahan saya selama ini.
Tiga tahun berlalu, masih teringat ketika selama itu aku berjuang mati-matian.

Tidak kenal rasa lelah, tidak kenal rasa malu, dan aku membuang gengsi jauh-jauh hanya untuk mendapat jawaban yang jelas.

Dan sekarang aku mengerti mengapa sebagian orang memutuskan untuk berhenti ketika tujuan yang diharapkan tidak kunjung terwujud meski mereka sudah melakukan segalanya (termasuk yang paling konyol sekalipun). Boleh, lah, kalian berkata aku--dan sebagian orang tersebut--ini pengecut atau kalah sebelum berperang atau pendek akal atau semacamnya. Tapi ketika kita terlalu memaksakan sesuatu untuk hal yang tidak mungkin lagi diraih sama saja menempatkan diri sebagai masokis.

Banyak juga yang bilang mempertahankan sesuatu yang akhirannya saja tidak jelas diibaratkan menggenggam seutas tambang. Semakin digenggam semakin sakit, bahkan sampai lecet. Namun ketika genggaman itu dilepas, rasanya kalian bisa bayangkan sendiri.

Oke.

Selama tiga tahun, aku berusaha untuk menyukai orang lain.

Sialnya, ketika hati berbicara, "Aku menyukainya!" dia kembali lagi dan memohon maaf. Entahlah apa itu tulus atau tidak, lantas aku maafkan dia dengan alasan masih ada rasa cinta. Itu terus berulang hingga beberapa kali. Karena itu pula aku terus menerus berharap dalam omong kosong dan sikapnya yang selalu mengambang.

Puncaknya, Desember tahun lalu, menjadi masa paling 'indah' yang dijalani kami berdua. Apakah dia masih ingat dengan "Stand by Me, Doraemon", milk tea dengan bubble pearl, salah masuk kamar kecil, dan hujan rintik pukul empat sore? Kurasa tidak, walaupun aku tahu rasanya dia sedang membohongi perasaannya sendiri. Aku tidak mau menduga-duga apalagi sok tahu, tapi kelihatannya memang begitu. Sama halnya ketika dia berbohong kalau dia tidak pernah menonton anime "Anohana: The Flower We Saw That Day" dan "Your Lie in April" yang orang awam pun pasti menyukainya.

Cukup sampai di sini.

Jadi, aku sudah memutuskan untuk benar-benar berhenti mengejar lelaki itu, secara perlahan dan berangsur-angsur. Sekarang sudah ada seseorang yang mulai berani mencuri perhatian (dan hatiku), secara perlahan juga. Ya, apa yang terjadi pada diriku ini berjalan paralel. Mungkin juga kontras.

Ternyata melelahkan juga terus-terusan terjebak dan terjatuh ke lubang yang sama dan berbagi dunia yang seharusnya milik masing-masing (karena jelas-jelas aku dan dia berada di kutub yang berbeda dan saling tolak menolak). Selama ini dia tidak pernah sekalipun mau meruntuhkan egonya hanya untuk meluruskan masalah yang sudah kusut tiga tahun ini. Jadi untuk apa aku menyiksa diri sendiri lagi?

"Before you finally go,
there's one thing you should know, that I promise:
Starting now, I never know your name
Starting now, I never feel the same
Starting now, I wish you'd never came to my world." 
-- Ingrid Michaelson - Starting Now

"I'm sorry for my Indonesian friends. While I'm enjoying my spring break, you must study hard for your finals."

Begitulah kutipan yang kira-kira aku dapat dari post seorang teman di Path. Dia sebelumnya pernah bersekolah di sekolah tempat aku belajar saat ini. Namun karena ia mengikuti ayahnya bekerja, ia pindah ke Amerika Serikat tepatnya di daerah Urbana, Illinois. Sejujurnya aku iri dengannya karena dia bebas dari ujian yang menentukan kelulusan di Sekolah Menengah Pertama. Yap, apalagi kalau bukan Ujian Nasional.

*****

Ujian Nasional (selanjutnya disebut UN) memang menjadi hal yang paling ditakuti semua murid tahun terakhir, termasuk aku. Bagaimana tidak, selain apakah kalian akan lulus atau tidak, nilai yang didapat pun menjadi satu-satunya 'pass' untuk masuk ke SMA idaman masing-masing.
Hahaha, aku terlalu berlebihan. Katanya, nilai untuk mencapai kriteria lulus tidak murni dari nilai UN semata. Selebihnya ditambah 25% nilai ujian sekolah dan 15% nilai rapor semester 1-5. (beritahu aku kalau salah :D)

Aku akan lulus tahun ini. Dan rencananya soal-soal UN tahun 2014 akan dipersulit 30%, berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya 20%. Jika dihitung maka ada 15 butir soal sulit untuk pelajaran bahasa dan 12 butir soal untuk pelajaran hitung-menghitung.
Baru-baru ini aku mendapatkan informasi bahwa akan ada soal berstandar internasional sebanyak 5%. Sedikit, sih, tapi jika kita salah menjawabnya bisa berakibat turunnya nilai dari mata pelajaran yang diujikan. Rugi, kan?

Belum lagi dengan penerimaan siswa baru yang akan menggunakan sistem rayonisasi. Jadi, kita memilih dua pilihan sekolah. Pilihan pertama, kita bebas menentukan SMA favorit, dan menggunakan NEM murni. Pilihan kedua, akan ditentukan berdasarkan tempat tinggal kita, namun NEM kita akan ditambah 10% dari jumlah NEM murni. Kita yang dekat dengan sekolah favorit pasti diuntungkan dengan sistem ini. Masalahnya, bagaimana dengan daerah yang jauh dari SMA negeri? Itu urusan pemerintah.

*****

Kembali lagi ke masalah pribadi. Melihat fakta-fakta di atas membuat kalian makin terbebani? Tergantung kesiapan kalian dalam mengadapi UN nanti. Sejujurnya aku belum begitu siap, bahkan pada detik-detik menjelang ujian ini. Selain karena ada materi yang belum mudeng, aku takut kalau misalkan soal-soalnya benar-benar dipersulit. Rambut pun sampai rontok banyak, loh, saking pusingnya dengan UN.

Kita hanya berdoa supaya ke depannya berjalan lancar. Kalian ingin orang tua tersenyum bahagia, kan, ketika amplop hasil UN dikirim ke rumah kalian dan begitu membuka isinya kalian bersorak bahagia sembari bilang; "Ibu, Ayah, aku lulus dan dapat nilai tinggi!" ?

*****

Begitulah curahan hati sebelum mengikuti Ujian Nasional. Kalian semua semangat, ya. Semoga sukses! :)
Hati ini masih berdarah, namun aku masih memaafkan.
Aku ingin maju selangkah saja, namun selalu menoleh ke belakang. Takut melihatmu perih kembali.
Sudah seharusnya semua ini menghilang, namun Tuhan sedang ingin kita ditakdirkan seperti sekarang. Dekat tetapi saling membisu di antara tanda tanya.
Apakah aku yang bodoh?
Bodoh karena aku masih menunggu keputusan finalmu yang menurutku kesannya masih 'abu-abu'?
Bodoh karena aku masih berharap padamu walau kamu sudah berkata: "Cari saja yang lebih baik!" ?
Bodoh karena aku tidak paham dengan semua penolakan ini?

Atau mungkin apakah kamu yang tidak bisa tegas, hingga kamu bisa-bisanya membohongi perasaanmu yang sebenarnya?
Ya, memang aku bukan seorang pembaca pikiran yang tepat. Tetapi setidaknya instingku sebagai perempuan sangat peka terhadap apa yang terjadi, tak jarang aku sering memikirkan keadaanmu, saat ini dan nanti ketika aku memutuskan untuk pergi darimu.

Satu tahun bukanlah waktu yang singkat, Sayang.


*****


Selama ini aku memandang apa yang sudah aku lakukan demi mendapatkan (kembali) kepercayaan--dan hati--tersebut sebagai usaha yang tampak sia-sia.

Aku akui, tingkahku berlebihan saat berada di hadapanmu. Seolah aku mencari perhatian darimu. Sifatku yang kekanak-kanakan dan spontan memang tidak bisa kutahan.
Aku pun tidak bisa mengerti apa yang kamu mau. Kamu ingin aku merubah semuanya seratus delapan puluh derajat. Namun kamu mengharapkan perubahan itu dalam sekejap. Aku tidak mampu seperti itu!

Orang-orang sudah menganggapmu sebagai seorang lelaki yang tak pernah peka, tak pernah peduli, dan tak bisa menghargai perasaan seorang perempuan. Apa yang kamu rasakan?
Pertanyaanku memang terkesan memojokkan. Lantas pertanyaan (bodoh) apalagi yang akan aku tanyakan? Jikalau kamu hanya menjawabnya dengan: "Saya tidak tahu." ?
Apa kamu benar-benar tidak tahu, atau hanya sekedar pura-pura? Atau mungkin kamu sudah muak dengan pertanyaan (bodoh) ini lalu kamu ingin cepat-cepat enyah dengan menjawab tiga kata tersebut?

Ya, ya, ya. Logika dan delusi beradu dalam otak. Tak jarang aku menyadari bahwa kamu sudah tidak kuat lagi, namun di sisi lain aku tergugah ingin meminta kejelasan. Padahal sudah tahu kalau kamu ingin mengakhiri cerita.

Aku membutuhkan jembatan untuk menyebrangi hati yang masih mengambang antara 'rela' dan 'tidak'.


*****

Perasaan tidak bisa dipaksakan.
Aku mengerti kalimat itu. Aku berusaha untuk tidak gegabah.

Apabila buku ini memang harus ditutup, sebisa mungkin aku mengikhlaskannya.
Apabila cinta kita memang sampai di sini, sebisa mungkin aku melupakannya.
Dan apabila buku ini benar-benar tidak akan dilanjutkan, aku akan menjadikan ini semua sebagai pelajaran.

Sayang, bantu aku untuk merelakan semua yang lalu. Beri kejelasan dari sikapmu selama ini. Agar aku dapat menyebrang dari masa lalu yang penuh luka menuju hari esok yang lebih bahagia.
Waktu memang terasa lama jika kau sedang menunggu, namun terasa sangat cepat jika kau sedang terburu-buru.
Waktu memang terasa lama jika kau sedang merasa sedih, namun terasa sangat cepat jika kau sedang bahagia.

Sudah hampir satu tahun kita bersama. Ada satu hal yang kita semua inginkan, dan semua anak-anak kelas delapan SMP lainnya. Kita tak ingin berpisah. Entah kenapa, rasanya aneh bila dibandingkan dengan perasaanku terhadap kelas ini saat tahun ajaran baru.

*****

Aku masih ingat ketika baru memasuki kelas delapan ini. Menurutku, ini sama saja dengan memasuki planet selain planet yang aku pijak saat ini. Aku benci bertemu dengan orang-orang yang dicap sebagai 'anak nakal', karena aku yakin mereka pasti membawa pengaruh buruk. Hanya sebagian orang yang aku kenal baik.

Kemudian rasa benci itu diperparah dengan kondisi ruang kelas yang seperti tak terurus, ruangan itu bercat abu-abu dan hiasan dindingnya pun hanya tempelan slogan-slogan hasil tugas kakak kelas angkatan sebelumnya.

Rasanya ingin mengiris-iris nadi. Miris.

*****

Aku tak menghitung berapa lama aku beradaptasi. Semuanya mengalir begitu saja.

Semua anggapan-anggapan itu lama-lama terkikis, ketika aku menyadari segala yang terjadi dalam kelas. Tidak semua 'anak nakal' itu benar-benar nakal. Aku bisa melihat kegilaan, kegokilan, dan hal-hal lain yang meramaikan suasana.

Lalu anak-anak perempuannya. Dulu saat pertama kali tatap muka, mereka semua hanya menyunggingkan senyum malu-malu. Namun sifat asli dari masing-masing keluar juga. Aku tidak bermaksud negatif, kok. Maksudnya, ternyata mereka sangat humble, heboh, dan mudah berbaur. 

That's one of my reason why I don't want to leave this class.

*****

Masih ada kenangan lain dari kelas ini.

Tentu kalian masih ingat dengan PORSENI, kan?
Saat itu pertandingan futsal putra sedang berlangsung, dan Farhan mencetak gol. Tak lama berselang kita semua dibuat kaget dengan cedera yang dialami dia. Farhan terlihat memegang dahi dengan lengannya, dan tak disangka darah mengucur deras sampai mengenai rompi.
Anak-anak perempuan menangis karena tak tega. Dan anak laki-laki demikian, meskipun gol itu berbuah kemenangan tipis.

Kita memenuhi ruang dalam papan tulis dengan kalimat-kalimat yang berkonteks 'Get Well Soon, Akung (sebutan akrab untuk Farhan)!'. Betapa mengenaskan kala itu.

Kalian banyak menciptakan istilah-istilah khas, aku tidak tahu siapa yang menciptakan. Mulai dari #Watchument, #EMISS, Kentang Bakar, Moal Kuat, mungkin kalian bisa menambahkan.

Beberapa anak-anak di sini punya julukannya masing-masing. Ada Alfin dengan 'Biwir S**' karena bibirnya yang menggoda, Syahrul dengan 'Um' karena seperti om-om, Syifa Aisyah dengan 'Syifais' atau 'Pais' dan Syifa Aulya dengan 'Sipaul', Gina Widyanti dengan 'Ginawe', Isa dengan 'Mahe', Fajar dengan 'Capruk' karena sedang belajar bicara, serta masih banyak julukan yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu.

Setiap anak-anak memiliki ketertarikan atau idola masing-masing. Contohnya aku, yang mengidolakan Indra Maulana, presenter berita di salah satu televisi swasta. Lalu ada Ninda yang mengidolakan Cherrybelle, Syifa Aisyah yang mengidolakan Nicky 'XOIX', Tiara Puspita dengan Super Junior, Wanda dengan One Direction, dan masih banyak lagi.

Ada pula cinta lokasi. Misalnya, aku dengan Syahrul. 
Singkat cerita, aku memiliki rasa terhadapnya di bulan September. Aku tak tahu kenapa aku bisa suka, mungkin bisa dibilang die hard admirer nya karena wajah Syahrul mirip dengan idola. Kalian tau sendiri siapa.
Ada Ginawe dengan Fauzi yang sempat berpacaran (aku tak tahu tanggal jadiannya berapa, aku lupa) dan sudah lama putus.

Yang paling fenomenal, yaitu hubungan spesial diantara Ahmad, ketua murid dengan Sharen, teman sebangkuku. Mereka meresmikan menjadi sepasang kekasih pada tanggal cantik. Tanggal 12, bulan Desember, tahun 2012. Bahkan anak-anak kelas menyebut mereka dengan sebutan 'Bapak Negara - Ibu Negara'.

*****

Aku merasa beruntung bisa memiliki wali kelas seperti Bu Masrifah. Dengan ide-ide yang brilian, beliau berhasil menyulap ruang kelas kami menjadi lebih cerah, bahkan kelas kami berhasil menyabet juara pertama lomba kebersihan dua periode berturut-turut. Beliau juga memiliki paras cantik bak boneka Barbie. Beliau begitu perhatian dengan kami. Terima kasih atas segala nasihat dan kepeduliannya terhadap kami semua.

Aku juga merasa beruntung memiliki teman seperti kalian. Aku sadar, dibalik kenakalan kalian terselip kegokilan yang bisa menghangatkan hari-hari selama ada di sini. Kalian berhasil merubah stigma buruk tentang suramnya kelas kita dulu. You're so unforgettable.

*****
Aku berharap kita masih bisa bertemu suatu saat nanti. Aku akan merindukan kalian semua!

@delapaan_be:
  • Ahmad Safira Firdaus
  • Aldian Fallahakbar Nuriza
  • Alfin Firmansyah
  • Ardhianty Rifa Algiana
  • Chantika Puspita
  • Dika Afrizal
  • Dika Muhammad Ilham Novtadijanto
  • Faisal Darmawan
  • Fajar Putra Tri Nugroho
  • Fani Nurhandini
  • Farhan Dedi Sofyan
  • Fathiya Izzatunnissaa
  • Fathur Rozak Fianto
  • Fauzi Ramadhan
  • Ghina Salsabila
  • Gina Widyanti
  • Irvan Ramadhanny
  • Jihan Noer Ainun Farda
  • Kharina Citra Wati
  • Martha Alvianingsih
  • Moch. Syahrul Syaefudin
  • Mochammad Iqbal Fauzan
  • Muhammad Adnan Faisal Assidik
  • Muhammad Billy
  • Muhammad Ilham
  • Muhammad Isa Mahendra
  • Ninda Tiara
  • Nuril Lutfiah Saleh
  • Prayudha Nata Permana
  • Raden Muhammad Fahmi Gema Akbar
  • Rahmania Wanda Zafira
  • Rahmita Annur Irawati
  • Rangga Febrian
  • Revi Mochamad Fickry
  • Shania Tamara Fahira
  • Sheiliyana Sharen
  • Syifa Aisyah Putri
  • Syifa Aulya Tyana Poetri
  • Thiara Pratiwi Putri
  • Tiara Puspita Prameswary
  • Vera Megayanti
  • Yolanda Nur Fitria
  • Yusuf Hardianto Tri Wahyu Pamungkas



Aku menunggu waktu cukup lama untuk hal ini. Menunggu kau untuk menjawab semua pertanyaan yang aku todongkan dengan panjang lebar, dan pastinya jelas. Tapi apa? Dari semua kosakata tentang 'tolong jawab pertanyaanku' yang semula ingin sekali aku keluarkan dari mulut, seketika hanya topik basi yang terlontar, seperti: 'kenapa sms gak dibales?' atau 'kamu sekarang lagi ngapain?'. Argh, menunggu balasan darimu saja sudah memakan waktu seharian.

Dan ini saatnya kita meluruskan masalah yang sudah berlarut-larut selama setengah tahun belakangan. Lagi-lagi, akulah yang memulai percakapan lebih dahulu.


******

"Kamu masih inget gak kenapa aku lebih milih kamu ketimbang dia?"
"Saya lupa."
"Ayolah, masa kamu gak tau sih?"
"Yang tadi? Oh, karena saya mirip sama idola kamu."
"Aku gak cuma ngomong itu, ayo inget-inget lagi."
"Gak tau."
"Yang ini loh: 'aku cuma punya nomor hape sama FB kamu'?"
"Memang apa bedanya, sih? Kan kontak dia banyak."
"I don't wanna lose you."

Sepertinya kau memiliki ingatan jangka pendek, atau mungkin kau pura-pura amnesia, entahlah. Namun sungguh, dengan sikapmu itu membuatku dongkol. Dan aku memang tak bisa jauh dari bayang-bayangmu, dan aku tidak ingin kehilangan kontak. Aku tak mau ketika kita sudah jauh, semuanya akan seperti dulu, tidak saling kenal.

"Kalo misalnya saya jadian sama orang lain, gimana? Terus kalo kamu jadian sama orang lain juga, gimana?"

Hmm... pertanyaan berat. Aku balik bertanya.

"Kalo misalnya aku jadian, perasaan kamu gimana?"
"Ikut seneng."
"Ask your heart then, how does it feel?"
"Kan saya ngerasa ikut seneng kalo orang lain seneng."
"Ada rasa lain?"
"Enggak."

Memang aku juga merasa seperti itu jika aku jadi kamu, turut senang.

"Dulu, katanya kamu punya rasa sama aku ya? Jujur aja."
"Ya."

Nah!

"Sekarang udah enggak?"
"Ho'oh."
"Kenapa?"
"Pas saya denger kamu jadian sama dia."

Ya ampun! Sudah berapa kali kamu menyebut alasan ini? Tapi kali ini hanya sekedar meyakinkanku.

"Beneran? Gak asal ngomong, kan?"
"Iya."

Aku masih ragu kamu menjawab pertanyaanku dengan tulus.

"Jadi kamu cemburu sama dia?"
"Bukan. Cuma saya gak mau ganggu hubungan kalian aja."
"Tapi kamu tau kan kalo aku gak jadian sama sekali sama dia?"
"Terus?"

Gak mau mengganggu hubungan aku dan dia? Omong kosong! Dan kenapa kamu memberikan pertanyaan yang menggantung?

"Kamu gak akan pacaran gara-gara ini?"
"Gara-gara itu saya mikir gak akan pacaran dulu."

Ternyata kamu punya perasaan juga. Tapi kenapa kamu dengan mudahnya percaya kabar burung itu?

"Aku rada bego juga, sih. Ngapain aku bawa temen aku cuma buat nunjukkin kamu kalo ujung-ujungnya berabe kayak sekarang. Seandainya waktu diputer, kamu bakal ngapain?"
"Saya juga gak tau."

Kamu belum sempat memikirkan? Hellooooo..... pikiran kamu kemana saja?

"Ohya, dari awal aku suka sama kamu sampai saat ini, aku udah ngapain aja ke kamu?"
"Maksudnya?"
"Selama ini aku udah ngelakuin apa ke kamu?"
"Masih gak ngerti."
"Apa-yang-udah-aku-lakuin-ke-kamu?"
"Sumpahnya gak ngerti juga."
"Oh My...... lupain!"
"Terus?"

Bahasa apa yang harus aku gunakan agar kamu paham? Bahasa isyarat, kah? Dan lagi-lagi kamu menanyakan kalimat yang sama.

"Aku ini.... ternyata udah buang-buang waktu hampir enam bulan cuma buat orang yang gak ngerasain hal yang sama. Aku lebay, ya?"
"Gak juga, berarti kamu udah tulus sama orang itu tapi kamu gak dapet apa-apa."
"Kamu juga tulus, gak? Atau karena terpaksa aja?"
"Saya juga gak tau, cuma ngikutin arus."

Makasih untuk penggambarannya, tapi aku kurang yakin dengan 'cuma ikuti arus'.

"Aku bakal nungguin kamu sampe kelulusan. Tapi tergantung kamu juga, aku gak mau sakit hati lagi."
"Kalo gak mau sakit hati mending cari orang lain aja. Mau gimana lagi sebab saya gak pacaran, gampang putus, galau, cuma buat pamer, minta PJ (= pajak jadian), biasanya liat orang lain terus move on."

Aku suka bagian ini, karena kamu menunjukkan kebesaran hati untuk melepasku.

"Ada kok yang udah putus, tapi gak bisa ngelupain mantannya. Percuma dapet baru, toh yang ada di pikirannya cuma si mantan."
"Berarti itu orang bodoh. Buat apa jadian kalo akhirnya putus."

Baru pertama kali aku melihat kamu sebijak ini. Benar apa kata kamu, orang yang susah move on itu orang bodoh. Mereka yang susah bergerak maju untuk melupakan mantannya pasti mempengaruhi hari-hari kedepannya.

"Jadi kamu bakal jomblo terus ya?"
"Mungkin."

Yakin bakal tetap sendiri?

"Aku nanya, kamu pernah ngerasain apa yang aku rasain? Kamu jangan jawab 'gak ngerti'."
"Pernah mungkin, rasanya seperti itu."

Bisa kamu gambarkan rasanya? Kurasa hanya orang-orang yang memahami bahasa dan duniamu saja yang bisa menafsirkan.


******

 
Dan kalimat itu menjadi penutup di dialog yang masih belum menemukan titik terang dari masalah kita. Aku berharap pada Tuhan agar diberi kesempatan kembali untuk membahas sampai tuntas dan bisa menarik kesimpulan akhir.
Hai untuk kamu yang di sana.

Sedari dulu aku sudah menyimpan rasa kepadamu, dan kau tahu itu. Dan sudah seharusnya kau tahu cara merespon perasaan itu.
Tapi apakah kau tahu seperti apa?

Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda. Itu terjadi dengan kita.
Aku dengan sifat yang aneh dan blak-blakan, sedangkan kau tertutup dan seolah-olah membatasi dirimu untuk bertemu dengan makhluk lain selain yang ada di duniamu.
Yang aku tanyakan, apakah kedua sifat itu akan saling menyatu dan bisa dipahami oleh masing-masing pribadi?

Dulu sekali, kau memberi perhatian lebih dan menggodaku dengan kata-kata manis.
Dulu sekali, kau menghiburku saat aku sedih.
Dulu sekali, kau khawatir dan menanyakan keadaanku ketika aku sedang tidak masuk sekolah.
Dulu sekali, kau berterima kasih kepadaku karena aku telah membantumu mengerjakan tugas, padahal kau tidak meminta.

Namun sekarang...

Kau mengacuhkanku dan menganggapku angin lalu.
Kau memperlakukanku dengan sangat sinis.
Kau selalu memberi jawaban yang menggantung di setiap pertanyaanku.
Parahnya, kau bahkan tidak pernah menghargai pengorbanan yang sudah aku berikan demi kamu! Termasuk dengan mengorbankan rasa cinta orang lain kepadaku.

Boleh aku tanyakan satu hal?
Bayangkan, jika kamu ada di posisi aku. Tidak pernah menghargai usaha seseorang hanya untuk membahagiakan orang yang dia suka, menggantungkan rasa cinta orang lain,  tidak pernah peka terhadap sekitar.
Rasanya sakit, bukan?

Aku tahu kau memang memiliki sifat dingin.
Aku tahu kau tidak akan menjalin hubungan sebelum kau masuk SMA.
Aku tahu kalau aku tidak bisa memaksakan kehendakku jika kau memang begitu.

Aku tidak mengharapkan karma, yang aku inginkan hanya kau bisa peduli dengan apa yang aku rasakan sekarang.