Membutuhkan Jembatan

by 1/22/2014 10:35:00 PM 0 komentar
Hati ini masih berdarah, namun aku masih memaafkan.
Aku ingin maju selangkah saja, namun selalu menoleh ke belakang. Takut melihatmu perih kembali.
Sudah seharusnya semua ini menghilang, namun Tuhan sedang ingin kita ditakdirkan seperti sekarang. Dekat tetapi saling membisu di antara tanda tanya.
Apakah aku yang bodoh?
Bodoh karena aku masih menunggu keputusan finalmu yang menurutku kesannya masih 'abu-abu'?
Bodoh karena aku masih berharap padamu walau kamu sudah berkata: "Cari saja yang lebih baik!" ?
Bodoh karena aku tidak paham dengan semua penolakan ini?

Atau mungkin apakah kamu yang tidak bisa tegas, hingga kamu bisa-bisanya membohongi perasaanmu yang sebenarnya?
Ya, memang aku bukan seorang pembaca pikiran yang tepat. Tetapi setidaknya instingku sebagai perempuan sangat peka terhadap apa yang terjadi, tak jarang aku sering memikirkan keadaanmu, saat ini dan nanti ketika aku memutuskan untuk pergi darimu.

Satu tahun bukanlah waktu yang singkat, Sayang.


*****


Selama ini aku memandang apa yang sudah aku lakukan demi mendapatkan (kembali) kepercayaan--dan hati--tersebut sebagai usaha yang tampak sia-sia.

Aku akui, tingkahku berlebihan saat berada di hadapanmu. Seolah aku mencari perhatian darimu. Sifatku yang kekanak-kanakan dan spontan memang tidak bisa kutahan.
Aku pun tidak bisa mengerti apa yang kamu mau. Kamu ingin aku merubah semuanya seratus delapan puluh derajat. Namun kamu mengharapkan perubahan itu dalam sekejap. Aku tidak mampu seperti itu!

Orang-orang sudah menganggapmu sebagai seorang lelaki yang tak pernah peka, tak pernah peduli, dan tak bisa menghargai perasaan seorang perempuan. Apa yang kamu rasakan?
Pertanyaanku memang terkesan memojokkan. Lantas pertanyaan (bodoh) apalagi yang akan aku tanyakan? Jikalau kamu hanya menjawabnya dengan: "Saya tidak tahu." ?
Apa kamu benar-benar tidak tahu, atau hanya sekedar pura-pura? Atau mungkin kamu sudah muak dengan pertanyaan (bodoh) ini lalu kamu ingin cepat-cepat enyah dengan menjawab tiga kata tersebut?

Ya, ya, ya. Logika dan delusi beradu dalam otak. Tak jarang aku menyadari bahwa kamu sudah tidak kuat lagi, namun di sisi lain aku tergugah ingin meminta kejelasan. Padahal sudah tahu kalau kamu ingin mengakhiri cerita.

Aku membutuhkan jembatan untuk menyebrangi hati yang masih mengambang antara 'rela' dan 'tidak'.


*****

Perasaan tidak bisa dipaksakan.
Aku mengerti kalimat itu. Aku berusaha untuk tidak gegabah.

Apabila buku ini memang harus ditutup, sebisa mungkin aku mengikhlaskannya.
Apabila cinta kita memang sampai di sini, sebisa mungkin aku melupakannya.
Dan apabila buku ini benar-benar tidak akan dilanjutkan, aku akan menjadikan ini semua sebagai pelajaran.

Sayang, bantu aku untuk merelakan semua yang lalu. Beri kejelasan dari sikapmu selama ini. Agar aku dapat menyebrang dari masa lalu yang penuh luka menuju hari esok yang lebih bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar